Selasa, 08 Juni 2021

HAPUSNYA SANKSI PIDANA PENGEMPLANG PAJAK DI RUU KUP

[Sumber Berita]

       Bukan rahasia umum lagi bahwa pajak merupakan sumber pendapatan negara yang jumlahnya paling besar dan membawa dampak yang sangat besar. Peningkatan terhadap kemakmuran rakyat menjadi tujuan utama dari pemungutan pajak. Alhasil dalam mewujudkan tujuan tersebut kita saling bahu-membahu dengan cara tertib membayar pajak. Namun, secara fakta masih banyak masyarakat yang enggan membayar pajak, dan ada pula yang menunggak pajak atau yang biasa dikenal dengan pengemplang pajak. Para wajib pajak yang seperti inilah yang dapat menghambat tercapainya tujuan utama dari pemungutan pajak.

      Banyaknya para pengemplang pajak menjadi permasalahan yang sudah cukup lama terjadi. Belakangan ini sedang hangat diperbincangkan mengenai penghaapusan sanksi pidana terhadap para pengemplang pajak. Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan telah mengajukan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2021, menurutnya, sanksi pidana hanya menciptakan efek jera dan ia menekankan pada menyelesaikan kewajiban pembayaran. Hal tersebut menjadi salah satu latar belakang pengajuan RUU KUP ini.

      Kemudian bila dilihat dari sisi hukum, sanksi pidana terhadap pengemplang pajak salah satunya terdapat pada pasal 39 dan 39A UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, disebutkan ada pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak 4 (empat) kali dari pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Mari kita lihat pada draft  RUU KUP, dalam draft yang diusulkan ini pidana denda tersebut tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan dan wajib dibayar oleh terpidana. Pengenaan sanksi denda sangatlah terkait dengan fungsi pajak sebagai fungsi anggaran karena tujuan pajak adalah untuk penerimaan negara. Undang-undang Pajak sendiri memberi kesempatan bagi wajib pajak untuk memperbaiki laporan SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) yang tidak benar. Apabila wajib pajak tidak menghiraukannya maka negara dapat mempidanakan sebagai upaya terakhir (ultimum remidium).

        Dikutip dari Kompas.com, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan kebijakan pemerintah menghapus sanksi pidana dianggap sudah tepat. Jika dialihkan menjadi sanksi administrasi maka penerimaan pemerintah akan lebih besar. Prinsip undang-undang pajak adalah memberikan solusi penyelesaian pajak pada aspek administratif dengan sarana ketetapan pajak, bukan pada memidana wajib pajak.

    Adanya penghapusan sanksi pidana ini dapat berpengaruh pada sosial ekonomi masyarakat. Pemfokusan pada penyelesaian kewajiban pembayaran akan menghasilkan penerimaan negara yang lebih besar sehingga dapat melebihi target penerimaan pajak. Jika kita melihat fungsi dari pajak salah satunya adalah fungsi anggaran yaitu untuk membiayai pengeluaran negara . Usulan RUU KUP tersebut dapat berakibat pada  sektor prioritas alokasi dana seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial menjadi jauh lebih kuat dibandingkan sebelumnya. Akibatnya pemerataan pada ketiga sektor tersebut dapat dirasakan masyarakat secara lebih luas lagi kemudian menjadikan jumlah masyarakat miskin akan jauh berkurang. Masyarakat miskin punya pengaruh terhadap stabilitas negara, apabila negara dihuni oleh banyak masyarakat miskin maka potensi terjadinya kerusuhan juga kian besar. Hal inilah yang perlu disadarkan kepada para pengemplang pajak bahwa mereka mempunyai peran serta terhadap jumlah masyarakat miskin di Indonesia.

    [Baca Juga: DJP olah Ratusan Jenis Data]

      Kesadaran dan kepatuhan sudah seharusnya tertanam pada masing-masing individu. Tindakan hukum yang dilakukan pemerintah tak lain dan tak bukan karena para individu tidak menggubris aturan halus pemerintah. Program pemerintah seperti pengampunan pajak bisa dijadikan solusi terhadap para pengemplang ini, namun program tersebut perlu dievaluasi mendalam sebab jika program ini diadakan hingga banyak sesi maka pemerintah bisa disebut terus berkompromi dengan pengemplang pajak. Pemberian edukasi dan pemahaman akan pajak juga menjadi program dari pemerintah untuk meningkatkan pembayaran pajak. Pendidikan akan pentingnya pajak juga menjadi bagian dari program pemerintah supaya kesadaran tersebut tertanam sejak dini.

Kamis, 01 April 2021

ANALISIS SOSIOLOGIS: “HUKUM PAJAK DAN IMPLEMENTASINYA BAGI KESEJAHTERAAN RAKYAT”

   [Sumber] Sebuah negara dalam menyelenggarakan suatu pemerintahannya haruslah memikirkan kepentingan rakyatnya mulai dari kesejahteraan hingga kecerdasan rakyatnya.  Dalam melaksanakan pembangunan demi tercapainya tujuan sebuah bangsa maka memerlukan pembiayaan yang cukup besar.  Sumber pendanaan atau penerimaan negara di Indonesia dalam APBN berasal dari penerimaan pajak,  Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) , dan dana Hibah. Dikutip dalam website resmi KementrianKeuangan,  pajak menjadi sumber pendanaan yang paling besar dalam APBN yaitu senilai 1865,7 Triliun di tahun 2020. Hal tersebut menunjukkan bahwa pajak menjadi sumber penerimaan negara yang paling besar. 

    [Baca Juga: Analisis Yuridis Hukum Pajak]

        Dalam realitanya,  peranan pajak belum mampu menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat.  Masih dapat kita rasakan banyak jalanan yang rusak, fasilitas kesehatan di beberapa tempat yang kurang layak,  dan permasalahan lainnya. Bisa kita lihat pada sektor pendidikan, meskipun dalam APBN anggaran untuk Pendidikan dialokasikan sebesar 20% dan nilainya meningkat setiap tahunnya tetapi hal tersebut belum nampak pada potret pendidikan kita. Fasilitas Pendidikan khususnya di luar Pulau Jawa belum dapat dirasakan secara merata oleh anak-anak. Meskipun, disatu sisi kesejahteraan guru terus meningkat akibat adanya kenaikan tunjangan profesi guru tetapi adanya kenaikan tunjangan tersebut juga tidak dirasakan oleh semua guru, masih saja ada guru-guru maupun tenaga pendidik yang tidak merasakan kesejahteraan yang semestinya. Tidak hanya itu saja, dalam sektor keamanan dan pertahanan juga merasakan dampak adanya pajak. Alat Utama sistem Senjata (Alutsista) yang dimiliki oleh TNI juga sudah dinilai ketinggalan jaman dibandingkan dengan negara lain. Pengadaan dana yang besar untuk alutsista tidak sebanding dengan Anggaran Belanja yang ada, menjadi persoalan tersendiri bagi pertahanan dan keamanan negara ini. Tak hanya itu saja dampak pajak, dapat kita jumpai jika membeli suatu produk tertentu yang dikenakan pajak penjualan tertentu, harga yang kita bayarkan akan jauh lebih mahal dari harga asli dari barang tersebut. Hal tersebut bisa membawa beban pada masyarakat, karena harga akan menjadi lebih mahal dari harga aslinya yang dapat mengakibatkan penjualan terhadap barang tersebut menjadi nol dan dapat berimbas pada hilangnya produk dipasaran padahal produk tersebut dibutuhkan oleh masyarakat. 
        Adanya penerimaan pajak yang besar juga membawa dampak positif, contohnya bagi masyarakat yang kurang berkecukupan. Anggaran yang besar di Kementrian Sosial menjadikan bantuan sosial dapat dibagikan secara merata. Dibuktikan dengan data yang ada, tingkat kemiskinan turun dari tahun ke tahun, hal itu bukan saja karena bantuan sosial yang sudah mulai merata tetapi juga karena faktor pendukung lainnya seperti lapangan pekerjaan yang semakin banyak, dan insentif-insentif yang diberikan pemerintah bagi masyarakat kurang mampu untuk dapat mengembangkan kemampuannya guna meningkatkan perekonomiannya. Apalagi di masa pandemi seperti ini, pajak sangat-sangat dirasakan manfaatnya bagi semua kalangan bisa terlihat dari sektor kesehatan maupun sektor lain yang terdampak pandemi ini. Pemerintah sampai menggelontorkan Rp 1.035,2 Triliun dalam penanganan covid-19. 

        Seperti yang telah dijelaskan diatas kontribusi pajak sangatlah besar bagi suatu negara. Namun hal tersebut kurang mendapat kontribusi dari para wajib pajak yang memiliki kewajiban untuk membayar pajak. Kurangnya tingkat kesadaran Wajib Pajak menjadi salah satu faktor, pembayaran pajak yag ruwet menjadikan para wajib pajak enggan untuk membayarnya.  Dampak yang kurang dirasakan oleh masyarakat yang membayar pajak (Wajib Pajak) juga menjadi salah satu penyebab kurangnya masyarakat yang membayar pajak. Masyarakat merasa kondisinya tidak ada bedanya antara membayar pajak dengan tidak membayar pajak terutama dalam hal infrastuktur jalan. Jalanan masih saja ada beberapa yang tidak layak untuk dilewati di beberapa tempat. Kesadaran yang kurang juga terjadi pada masyarakat di kelas atas, mereka tidak menyadari bahwa pajak yang mereka bayarkan akan sangat berdampak besar bagi pembangunan Indonesia kedepan. Adanya kebijakan Tax Amnesty yang "dihidupkan" kembali oleh pemerintah pada 2016 memberikan trend yang positif, penerimaan pajak menjadi meningkat lebih pesat dari tahun-tahun sebelumnya. Sejak diberlakukan kembali Tax Amnesty, pelaporan SPT Tahunan mulai meningkat hingga sekarang. Artinya, sekarang ini tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya pajak dalam pembangunan kesejahteraan sosial menjadi tinggi. Dibarengi dengan pembayaran pajak yang jauh lebih sederhana juga menjadi alasan semakin meningkatnya penerimaan pajakdari tahun ke tahun. Maka dari itu, diharapkan kedepannya masyarakat dapat lebih peduli akan pentingnya membayar pajak terutama untuk masyarakat kalangan atas karena pajak  yang diberikan oleh masyarakat kelas atas mampu mendongkrak pendapatan negara.

   [Baca Juga: Analisis Ekonomi Hukum Pajak]